Kamis, 20 April 2017

REALITA PERKEMBANGAN BUSANA ADAT KE PURA DALAM ERA GLOBALISASI (Kajian Teori Struktural Fungsional)





“Om Swastyastu”,
Seiring dengan perkembangan jaman serta sejalan dengan arus modernisasi, membawa eksistensi kultur (budaya) di Indonesia kedalam proses perubahan yang cukup mempengaruhi. Perubahan terkait budaya dirasakan oleh hampir semua elemen masyarakat diberbagai daerah. Kita akan dapat melihat perubahan tersebut setelah mengkomparatifkan (membandingkan) keadaan pada beberapa waktu lalu dengan keadaan sekarang. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi atau keyakinan. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri, mengingat bahwa yang kekal di dunia ini adalah perubahan. Namun tidak semua perubahan yang terjadi membawa pada suatu keadaan yang positif. Seringkali perubahan yang terjadi terlihat lepas kendali (lose of control), sehingga akan menjadi boomerang bagi masyarakat ditu sendiri.
Kaitannya dalam kontekas perubahan, manusia sebagai agen perubahan (agent of change) akan menempatkan dirinya, baik selaku subjek, maupun sebagai objek dari perubahan. Tentunya dengan selalu mengikuti dan kemudian menerima arus perubahan itu dengan selalu bersikap responsive dan adaptif. Sebagai subjek, manusia adalah pelaku utama dari perubahan itu, hendak bagaimana dan mau dibawa kemana perubahan itu (Widana, 2011: 7). Perubahan yang paling signifikan terjadi dewasa ini tentunya adalah perubahan dalam hal budaya. Jika diperhatikan, sangat banyak budaya asli nusantara yang telah mengalami pergeseran dikarenakan arus globalisasi, baik itu budaya berbahasa, bahkan juga pergeseran budaya dalam hal berpakaian.
Globalisasi budaya yang telah diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi sekarang terlihat mulai mengalami modifikasi. Contoh nyatanya adalah dalam hal pembuatan sesajen (banten), tidak jarang masyarakat bali mengganti bahan yang dijadikan banten menjadi makanan-makanan ringan yang dijual di supermarket. Tidak hanya banten, busana adat ke pura juga mulai mengalami perubahan model. Bali yang sangat kental dengan nuansa adat dan budaya dengan filosofi di dalamnya, selain itu bali juga terkenal dengan julukan “Pulau Seribu Pura”. Pura merupakan tempat suci yang digunakan sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu. Dalam melakukan persembahyangan, umat hindu perlu menyiapkan sarana serta berpakaian yang sopan, hal tersebut merupakan simbol untuk memuja beliau. Namun di era globalisasi ini, cara berpakaian umat hindu juga terkena imbas. Remaja cenderung memiliki hasrat untuk mengikuti model berpakaian orang barat yang cenderung terbuka dan cenderung menyimpang dari norma yang berlaku. Seperti halnya dengan fokus kajian penulis, dimana banyak ditemukan adanya perubahan cara berpakaian adat bagi umat Hindu di Bali dalam naungan zaman globalisasi. Fenomena tersebut bahkan dapat dijumpai hampir diseluruh Pura atau tempat suci di Bali.
Berkaca dari realita tersebut, menarik minat penulis untuk mengkaji lebih mendalam dan spesifik terhadap perubahan yang telah terjadi dalam hal tata etika berbusana adat ke Pura bagi umat Hindu. Seperti yang kita ketahui, terdapat berbagai faktor serta jalur yang memungkinkan proses perubahan budaya dalam konteks berbusana adat tersebut terjadi. Salah satu jalur tersebut yang juga merupakan obyek analisis penulis adalah proses akulturasinya yang dikaji melalui perspektif teori structural fungsional.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan suatu masalah, yaitu:
1)      Bagaimanakah realita perkembangan busana adat ke Pura dalam era globalisasi ?
2)      Bagaimanakah relevansi teori struktural fungsional dalam perkembangan busana adat ke Pura di era globalisasi ?
3)      Bagaimanakah kajian teori struktural fungsional kaitannya dengan perkembangan busana adat ke Pura di era globalisasi ?
4)      Apa sajakah langkah yang dapat ditempuh dalam menyikapi realita perkembangan busana adat ke Pura dalam era globalisasi ?

Tujuan Penulisan
Dari keseluruhan isi Paper ini bertujuan agar para pembaca dapat mengetahui akan realita modernisasi yang terjadi khususnya dalah hal perkembangan busana adat ke Pura dalam era globalisasi serta menemukan langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam menyikapi realita dari perkembangan busana adat ke Pura dalam era globalisasi.

Metode Penulisan
Dalam penyusunan Paper ini, penulis menggunakan metode kepustakaan, yaitu suatu metode yang menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan budaya, khususnya mengenai eksistensi budaya berbusana adat. Metode analisis yang penulis gunakan adalah Deskriptif, yaitu data yang telah terkumpul, kemudian disusun secara akurat dan menyeluruh untuk mendapatkan suatu pembahasan yang dapat disusun dan disimpulkan serta dikembangkan dan dirangkai menjadi sebuah Paper yang bagus.


Realita Perkembangan Busana Adat Ke Pura Dalam Era Globalisasi

Tidak dapat dipungkiri bahwa, kekalnya perubahan akan senantiasa terjadi dan tidak akan ada habisnya. Dalam konteks positif, tentunya seluruh insan berharap keseluruhan perubahan yang terjadi akan memberikan suatu dorongan yang positif pula bagi perkembangan pembangunan. Namun, dalam realitanya tidak sepenuhnya seperti apa yang diharapkan. Tidak sedikit realita perubahan membawa pada efek yang negative dan bahkan mampu menenggelamkan budaya-budaya yang sedari awal telah paten dijalankan oleh masyarakat. Budaya yang paling jelas terlihat tengah berada pada titik kritis tentunya terkait budaya etika kemasyarakatan. Berbicara etika tentu lingkupnya sangat luas, namunpenulis batasi dalam ranah etika berpakaian, khususnya terkait dengan etika berbusana adat. Tentunya tepat perkiraan serta analisis dari para ilmuan yang menyatakan bahwa eksistensi budaya saat ini tengah berada pada tekanan globalisasi.
Globalisasi merupakan gejala yang tak dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Globalisasi telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat Bali, khususnya umat Hindu yaitu terjadinya benturan kultur. Sekarang ini globalisasi bukan merupakan hal yang baru dibicarakan. Tekanan dari globalisasi yang menjadi tantangan terbesar saat ini harus dicarikan solusi. Gejala Globalisasi mulai menonjol pada abad ke-20 dan mengakibatkan banyak hilangnya keaslian watak dan kemandirian budaya bangsa. Globalisasi disebabkan oleh kemajuan Iptek, terutama bidang teknologi komunikasi yang membawa dunia saling berdekatan. Realita ini sangat penting untuk disadari, terutama karena zaman yang kita hadapi membawa kemajuan-kemajuan besar, sekaligus perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat Bali (Mantra (1996: 1-2).
Sebagai salah satu dampak globalisasi dalam masyarakat Bali, khususnya umat Hindu adalah terjadinya benturan cultural. Malinowski dan Brown dalam riset lapangannya berhadapan dengan fenomena kontak, benturan atau konflik cultural. Benturan cultural tersebut sangat menonjol ketika peradaban barat mulai masuk dan terus merasuk ke dalam kultur pribumi, terutama pada saat mereka mengembangkan dan menanamkan pengaruh kolonialismenya di kawasan daerah jajahannya (dalam Sztompka, 2004: 108). Masyarakat Hindu (Bali) sebagai bagian dari masyarakat global juga tidak luput dari pengaruh budaya barat modern. Menurut Atmadja (2006: 75), dengan mencermati kondisi masyarakat Bali dewasa ini, globalisasi memiliki kesan yang sama kuat dengan westernisasi. Penggunaan produk-produk luar dalam pelaksanaan upacara yajna sebagai salah satu bungki konkritnya. Hal senada juga ditegaskan Hoed (2008: 101) yang menyatakan bahwa globalisasi yang semula merupakan akibat dari perkembangan ekonomi dunia, ternyata dalam perkembangannya juga telah menjadi gejala budaya, yakni terbentuk dan tersebarnya “kebudayaan dunia” diberbagai negara. Artinya, suatu kebudayaan baru tengah merebak dan melanda seluruh dunia.
Globalisasi dalam konteks dampak pada dasarnya melingkupi seluruh aspek, bahkan dalam realitanya juga merasuki serta mempengaruhi aspek budaya. Jika dipahami secara mendalam, antara manusia dan kebudayaan pada hakekatnya memiliki hubungan yang sangat erat, dan hampir semua tindakan dari seorang manusia itu adalah merupakan kebudayaan. Termasuk dalam hal ini dalam budaya berbusana atau berpakaian. Dilistone (2002: 80), menambahkan bahwa pengertian busana (pakaian) dalam arti luas adalah suatu benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di dunia.  Pakaian adalah menyimbolkan manusia, sebuah topeng dan suatu petunjuk tentang jabatan, tingkat, status, tetapi bukan identifikasi  dengan suatu bagian dari pengada hakiki.
Tekanan globalisasi dewasa ini memang membawa dampak terjadinya pergeseran etika dalam berbusana adat ke Pura oleh generasi muda Hindu di Bali. Banyak generasi muda yang kurang memahami dan juga ada yang tidak mau memahami tentang etika dalam berpakaian ke Pura. Banyak dari meraka terutama kaum perempuan yang memakai model baju kebaya (baju atasan yang sering dikenakan para wanita dalam persembahyangan ke Pura) yang kurang sesuai. Pada dasarnya berbusana tentu akan lebih baik jika disesuaikan dengan aktifitas / kegiatan yang akan dilakukan. Wanita sering kita jumpai mengenakan kebaya dengan bahan transparan dengan kain bawahan (kamen) bagian depan hanya beberapa cm dibawah lutut untuk melakukan persembahyangan. Kita seharusnya mengetahui bahwa pikiran setiap manusia tentu tidak sama, ada yang berpikir positif bahwa itulah trend mode masa kini. Tapi ada yang berpikiran negatif tentu tidak sedikit, inilah permasalahanya bagi orang yang mempunyai pikiran negatif, paling tidak busana terbuka akan mempengaruhi kesucian pikiran umat lain yang melihatnya sehingga mempengaruhi konsentrasi persembahyangan.
Hal senada juga disampaikan oleh Widana (2011: 13) yang menyatakan bahwa di zaman modern ini, perihal perubahan dalam hal etika berbusana sungguh merupakan fenomena yang senantiasa tumbuh dan berkembang, fenomena yang menunjukkan bagaimana umat Hindu tatkala melaksanakan kegiatan persembahyangan, khususnya di Pura mampu mensinergikan tampilannya dengan trend zaman, gaya modis seperti kalangan selebritis dalam aktifitas religius yang seharusnya mengedepankan tuntunan etis (normative) yang dijiwai oleh ajaran suci Hindu.
Synnott (2003: 11-14), menekankan pula bahwa, “tubuh kita dengan bagian-bagiannya dimuati oleh simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual, moral dan seringkali kontroversial”. Pakaian adalah salah satu ciri khas seseorang dalam berpenampilan. Baik itu dalam bekerja, jalan-jalan, belanja maupun dalam bersembahyang. Seperti yang banyak mengalami perubahan pada etika dalam menggunakan busana adat ke pura. Sejak dahulu hingga sekarang busana adat ke pura selalu berubah sesuai perkembangan jaman. Seharusnya dalam menggunakan busana adat kepura terutama untuk persembahyangan harus sesuai dengan tata cara yang berlaku. Namun dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam menggunakan busana adat sudah tidak sesuai dengan norma atau aturan.
Terkait konteks fenomena berpenampilan (berbusana), fenomenologi Husserl (dalam Widana, 2011: 33) memandangnya sebagai sesuatu (objek) sebagaimana kita alami dan menghadirkan diri dalam kesadaran kita yang dapat dideskripsikan dari apa yang tertangkap oleh intuisi dan muncul melalui analisis. Bahwa, umat Hindu melalui penampilan “selebritisnya” telah menunjukkan adanya percampuran kultur barat (modern) dan lokal (tradisi) yang tampak sekali bentuk-bentuknya ketika dalam kesempatan mengikuti atau melaksanakan upacara persembahyangan. Performance umat Hindu cenderung bergaya fashionable (sadar mode).
Berdasarkan analisa beberapa sumber dan fakta di lapangan, dapat diketahui bahwa perkembangan tatanan busana adat tanpa disadari telah keluar jauh dari batasan norma-norma yang ada, misalnya eksistensi pakaian yang terbuka (tidak sopan) atau terlalu vulgar. Hal tersebut disinyalir sebagai akibat proses akulturasi yang lepas control. Melihat realita perubahanan tatanan budaya berbusana adat sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, memberikan kita sebuah pemahaman bahwa tugas utama yang harus dibenahi adalah bagaimana mempertahankan, melestarikan, menjaga, serta mewarisi etika budaya lokal dengan sebaik-baiknya. Khususnya etika berbusana adat ke pura.


Relevansi Teori Struktural Fungsional Dalam Perkembangan Busana Adat Ke Pura Di Era Globalisasi

Struktural fungsional pada dasarnya mengkaji tentang hubungan antara kepribadian individual manusia, sistim sosial dan sistim budaya. Tujuannya agar sistem sosial dapat bertahan dan fungsionalnya dapat berjalan sebagaimana mesetinya (Suprayoga dan Tabroni, 2001: 96). Talcott Parsons (dalam Pitana dan Gayatri, 2005: 19) menyatakan bahwa, terdapat beberapa asumsi pokok dari pandangan Struktural Fungsional, diantaranya;
1.      Masyarakat sebagai sistem sosial, terdiri dari bagian-bagian (subsistem) yang interdependent. Masing-masing bagian mempunyai fungsi tertentu yang berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem secara keseluruhan.
2.      Setiap elemen atau sub-sistem harus dikaji dalam hubungan dengan fungsi-fungsi dan peranannya terhadap sistem. Serta dilihat apakah subsistem tersebut berfungsi atau tidak, dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh perilaku suatu sistem. Jadi yang dilihat adalah fungsi real, bukan fungsi yang seharusnya.
3.      Kalau suatu sistem dapat mempertahankan batas-batasnya, maka sistem tersebut akan stabil.
4.      Berfungsinya masing-masing bagian (sub-sistem) atau suatu sistem, akan menyebabkan sistem ada dalam keadaan equilibrium. Masyarakat yang equilibrium adalah masyarakat yang stabil, normal karena semua faktor yang saling bertentangan telah melakukan keseimbangan.

Globalisasi budaya yang telah diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi sekarang memang mulai mengalami modifikasi. Contoh nyatanya adalah dalam hal busana adat ke pura yang mulai mengalami perubahan model. Bali yang sangat kental dengan nuansa adat dan budaya dengan filosofi di dalamnya, selain itu Bali juga terkenal dengan julukan “Pulau Seribu Pura”. Pura merupakan tempat suci yang digunakan sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu. Dalam melakukan persembahyangan, umat hindu perlu menyiapkan sarana serta berpakaian yang sopan, hal tersebut merupakan simbol untuk memuja Beliau. Namun di era globalisasi ini, cara berpakaian umat Hindu juga terkena imbas. Remaja cenderung memiliki hasrat untuk mengikuti model berpakaian orang barat yang cenderung terbuka dan cenderung menyimpang dari norma yang berlaku.
Realita perkembangan busana ini bertentangan dengan pandangan teori modern yang mengarah pada perkembangan dan perbaikan, perkembangan yang terjadi justru keluar dari batasan norma. Terkait dengan fenomena tersebut, Triguna (2000: 35) menyatakan bahwa realita munculnya penampilan umat dengan gaya berbusana seperti halnya performance selebritis merupakan fakta dari pengaruh trend-mode. Terkandung maksud untuk mengkomunikasikan kemodernan gaya hidup dalam beragama. Sehingga pada kesempatan melakukan atau mengikuti upacara persembahyangan yang sebenarnya dilandasi oleh religuisitas (etika keagamaan), motif-motif untuk menampilkan diri secara glamour (indah dan mewah) tidak terhindarkan lagi. Media tubuh umat dalam balutan fashionable yang sebenarnya lebih tepat dikenakan pada kesempatan non-religion (diluar kegiatan agama) akhirnya ditampilkan juga diruang-ruang dan waktu religi, seperti halnya di Pura.
Selama ini, banyak cara berpakaian busana adat ke pura yang tidak sesuai dengan pakem. Penyimpangan yang dilakukan terhadap berbusana ke pura ini tentunya dapat berpengaruh negatif. Dari analisis struktural terkait eksistensi gaya berbusana adat ke Pura saat ini saja telah mengalami perubahan. Adapun penyebab dari perubahan trend busana adat kepura daru segi struktur bagi umat Hindu diantaranya :
1.      Banyaknya selebritis dan para model memakai bahan-bahan budaya bali yang dipakai sampel model atau desain terbaru untuk dimodifikasi.
2.      Dari adanya modifikasi yang dipakai model atau selebritis menjadi banyak yang ditiru oleh umat Hindu (Bali) untuk busana ke Pura agar terlihat lebih modern.
3.      Adanya kombinasi atau perpaduan model busana barat dan busana lokal yang menjadi trend terbaru dalam berbusana.
4.      Berkembangnya pariwisata Bali, terutama orang-orang suka dengan budaya dan busana Bali sehingga banyak menjadi barang dagangan untuk para turis-turis yang datang ke Bali.
5.      Berkembangnya trend (Fashion) busana-busana modern dari luar yang dapat mempengaruhi busana adat ke Pura sehingga dilihat menjadi lebih modis.
6.      Banyaknya umat Hindu (para ABG) yang mengikuti perkembangan fashion atau trend terbaru dari berbagai gaya busana. Seperti; kebaya, kamen dan pakaian lainnya.

Faktor penyebab tersebut di atas adalah bukti ketidakstabilan sebuah sistem, bukti pula bahwa tatanan struktural fungsionalnya telah mengalami perubahan yang cukup ekstrim. Permasalahannya sekarang, dibalik fenomena perubahan penampilan umat Hindu dalam konteks struktur dan fungsinya akan membawa implikasi berupa terjadinya pergeseran orientasi nilai yang semestinya menekankan pada substansi dan esensi, namun yang terjadi dan berkembang justru lebih mengutamakan tampilan materi. Fenomena inilah yang oleh Sugiharto (dalam Adlin, 2007: 5) disebut sebagai situasi modern, dimana paradigm utamanya adalah tubuh (materi) dan pikiran. Pengutamaan tubuh dan materi menghasilkan budaya konsumerisme, sedangkan pengutamaan pikiran melahirkan Iptek. Dalam situasi semacam itu “ruh” tersisih. Yang dikedepankan adalah bagaimana bisa “memiliki” lebih banyak (to have), bukan bagaimana saya “menjadi” orang yang lebih berkualitas dan lebih bermakna (to be). Ruh yang lebih berurusan dengan “menjadi”itu tidak mendapat tempat. Kalaupun mendapat tempat, maka ritual-ritual religius kekinian sudah bercampur baur dengan perayaan konsumerisme.
Adapun dampak yang terjadi bagi umat hindu dari adanya perubahan seni berbusana diera globalisasi antara lain :
1.      Kurangnya kesadaran terhadap tatwa atau filosofi yang terkandung dari simbol-simbol busana adat kepura umat Hindu.
2.      Adanya penyimpangan etika dalam berbusana, seperti banyak busana contohnya: kebaya yang tarnsparan dan pemakaian kamen terlalu tinggi (diatas lutut).
3.      Adanya pikiran-pikiran kotor dipura yang diakibatkan pakaian yang kurang sopan terutama bagi laki-laki yang tidak bisa mengontrol diri melihat busana yang tranfaran dan terlalu vulgar.
4.      Mengganggu kenyamanan saat sembahyang, dari bahan yang terlalu bervariasi dan gaya yang sedikit ketat.
5.      Adanya persaingan busana dikalangan ibu-ibu yang lagi sembahyang akibat berkembangnya terus fashion atau model-model terbaru, sehingga dapat menimbulkan kesenjangan dan merasa jengah dalam berbusana.

Berdasarkan realita penyebab dan dampak yang ditimbulkan dari realita perkembangan busana adat ke Pura yang telah mengalami pergeseran dari konteks struktur dan fungsinya, tentu sangat dibutuhkan langkah-langkah konkrit (nyata) yang dapat diambil guna mengatasi, atau paling tidak mengendalikan perubahan dramatis yang telah terjadi.

Kajian Teori Struktural Fungsional Kaitannya Dengan Perkembangan Busana Adat Ke Pura Di Era Globalisasi

Berdasarkan kajian struktur dan fungsi, eksistensi perkembangan busana adat ke Pura telah mengalami pergeseran yang sangat signifikan dan lepas dari tatanan koridor aslinya. Dari segi tatanan berpakaian telah jauh berubah, seperti adanya modifikasi dalam penggunaan kamen yang saat ini justru lebih terbuka dan menonjolkan sisi feminim seorang wanita sehingga terkesan vulgar, dan pada kaum pria justru terkesan urakan. Jadi antara struktur (tatanan busana) dan fungsinya (religiusitas keagamaan) telah jauh menyimpang dan mengalami pembaharuan yang cukup ekstrim. Mungkin ini yang oleh Triguna (2000: 29) dalam pandangan struktural fungsionalnya, digambarkan sebagai suatu perubahan yang saling mempengaruhi. Perubahan yang terjadi dalam suatu bagian akan membawa perubahan pada bagian yang lainnya. Dasar berpikiran setiap struktur dalam sistem sosial fungsional, maka struktur dalam sistem sosial itu akan hilang dengan sendirinya.
Begitu juga dalam berbusana adat adanya tahapan-tahapan yang saling mempengaruhi penggunaannya dan memiliki fungsinya masing-masing. Tubuh manusia dibagi menjadi tiga bagian yakni dari leher ke kepala, dari atas pusar sampai leher dan dari pusar sampai bawah yang ketiganya saling mempengaruhi satu sama lainnya begitu juga penggunaan masing-masing busananya. Berkaitan dengan busana adat ke Pura sebenarnya, tidak dijelaskan dalam lontar ataupun sastra-sastra yang menunjukkan tentang busana adat Bali. yang pada dasarnya busana adat ke Pura dalam mengikuti upacara persembahyangan itu disesuaikan dengan konsepsi Tri Angga, yang terdiri dari:

1.      Busana/pakaian pada Uttama Angga (kepala)
Busana  pada Uttama Angga yaitu busana yang dikenakan dari leher ke kepala.

Busana Putra
Udeng (Ikat Kepala) adalah salah satu yang khas dari pakaian adat pria Bali, udeng yang digunakan untuk persembahyangan menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa.

Busana Putri
Bagi wanita Bali, penataan rambut beserta hiasannya memiliki aturan khusus. Sedikitnya ada 3 jenis gaya tata rambut atau sanggul yang dapat digunakan mereka, yaitu pusung gonjer, pusung tagel, dan pusung kekupu. Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi digerai,pusung gonjer di gunakan untuk putri yang masih lajang/ belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri Murti. Pusung Tagel adalah untuk putrid yang sudah menikah. Pusung podgala/pusung kekupu yaitu cempaka putih, cemapak kuning, sandat sebagai lambing Tri Murti. Biasanya dipakai oleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang Dewa Tri Murti.

2.      Busana/pakaian Madyama Angga (badan)
Busana pada Madyama Angga yaitu busana yang dikenakan pada badan tepatnya dari atas pusar sampai leher.

Busana Putra
Baju (kwaca), baju yang digunakan adalah baju bersih, rapi dan sopan. Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat kepura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi pada bagian baju sebenarnya tida ada patokan yang pasti yang biasanya ke Pura menggunakan baju putih yang melambangkan kesucian.

Busana Putri
Kebaya atau atasan yang digunakan pada pakaian perempuan adat Bali adalah kebaya dengan motif sederhana dan warna cerah. Pemilihan kebaya dinilai dapat menonjolkan sisi kecantikan dan keanggunan wanita Bali. Adapun dalam persembahyangan, kebaya yang digunakan haruslah sopan dari sisi desain, rapi dan bersih.
Selendang/senteng, putri menggunakan selendang/senteng diikat menggunakan simpul hidup dikiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang diluar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran Dharma dan siap mendidik putra putrinya kelak agar patuh terhadap orang tua.

3.      ­Busana/pakaian Kanistama Angga (dari pinggang ke bawah)
Busana pada Kanistama Angga adalah busana yang dikenakan pada bagian bawah yaitu dari pusar sampai bawah.

Busana Putra
Kain/kamen, dengan lipatan untuk putra kamen/ wastra melingkar dari kiri kekanan karena merupakan pemegang Dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah Dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap ibu pertiwiKancut juga merupakan simbol kejantanan. Untuk persembahyangan, tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan.
Saput (Kampuh) setelah kamen dipakai, ada 1 lagi kain penutup bagian bawah yang harus dikenakan. Kain tersebut bernama saput atau kampuh. Saput diikatkan di pinggang secara melingkar berlawanan arah jarum jam. Saput merupakain kain berdesain klasik yang lebih sering dipakai saat ibadah atau acara keagamaan. Tujuan penggunaannya adalah untuk menutupi lekuk tubuh dan aurat.
Umpal (Selendang Pengikat), untuk menguatkan kamen dan saput, digunakan selendang kecil berwarna kuning yang bernama umpal. Ikatan yang digunakan adalah ikatan dengan simpul hidup yang diletakan di sebelah kanan. Cara mengikat ini mengandung arti bahwa pria bali harus dapat mengendalikan semua hal buruk dari segala aktivitasnya.

 Busana Putri
Kamen/kain, sama seperti busana adat putra putrid juga memakai kamen tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti sehingga langkahnya lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi.
Bulang Pasang, untuk menguatkan ikatan kamen, digunakan sebuah selendang kuning bernama bulang pasang yang diikatkan di pinggang. Pemakaian selendang bulang pasang dalam pakaian adat Bali wanita memiliki makna filosofis agar wanita Bali dapat menjaga rahimnya dan mengendalikan tingkah lakunya dari segala keburukan.

Dari uraian tahapan-tahapan konsep busana adat diatas, yang terdiri dari tiga bagian yang saling berhubungan serta berurutan penggunaannya yang dimulai dari bawah. Kita rapikan dan kendalikan dahulu dari bawah lalu keatas. Simanjuntak  (1985 : 70), menyatakan bahwa dalam teori struktural fungsional badan manusia dianggap atau dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari organ-organ yang saling berhubungan, seperti jantung, paru-paru, ginjal dan otak. Setiap organ mempunyai satu atau beberapa fungsi tertentu, yang sangat penting bagi organ lainnya bahkan seluruh organisme tubuh. Begitu juga ketiga bagian konsep Tri Angga dalam penggunaan busana adat tersebut sudah berstruktur dengan penggunaannya dan memiliki fungsinya masing-masing. Jika adanya perubahan yang terjadi dalam suatu bagian akan membawa perubahan pada bagian yang lainnya. Masing-masing struktur bagian mempunyai fungsi serta makna yang terkandung didalamnya, yang dimana warnanya bisa disesuaikan dengan jenis upacara Yajna yang bersangkutan.
Langkah Yang Dapat Ditempuh Dalam Menyikapi Realita Perkembangan Busana Adat Ke Pura Dalam Era Globalisasi

Berbicara tentang busana sesungguhnya berbicara tentang sesuatu yang sangat erat dengan diri individu. Tidak heran jika tokoh Thomas Carlyle (dalam Barnard, 2006: vi) menyatakan bahwa busana adalah “perlambang jiwa” (emblems of the soul). Busana bisa menunjukkan siapa pemakainya. Dalam kalimatnya Eco, “I Speak trough my cloth” atau Aku berbicara lewat pakaianku. Dengan busana kita menunjukkan siapa diri kita. Berdasarkan pernyataan tersebut, pembenahan harus dimulai dari sisi internal (kejiwaan atau kepribadian) terlebih dahulu.
Jika kita telusuri tattwa dan etika dalam berbusana ke Pura. Orang berbusana adat yang baik untuk ke pura yakni berbusana yang enak dipandang. Tidak kebablasan seperti busana yang pendek-pendek, kebaya yang tipis dan transparan, penggunaan kamben yang di atas lutut. Walaupun semua itu adalah trend atau mode kita harus juga mengetahui apa makna dari pakaian adat ke Pura. Jadi berpakaian ke Pura diharapkan pakaian yang bisa menumbuhkan rasa nyaman baik yang memakai maupun yang melihat, menumbuhkan rasa kesucian, dan mengandung kesederhanaan, warnanyapun akan lebih baik yang berwarna tidak ngejreng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan kesucian pikiran.
Sebagai generasi muda memang sudah harus sepatutnya mempelajari dan mampu memahami dan juga melakasakan etika dalam berpakaian untuk persembahyangan ke Pura. Pikiranlah yang utama dalam mengantarkan bhakti kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Dan apabila hanya karena mengikuti trend dan mode pakaian yang dikenakan bisa menggagu konsentrasi tentu saja itu akan membuat terganggunya situasi persembahyangan yang khusyuk.
Bukan berarti agama Hindu menolak modernisasi atau menolak modifikasi dalam pemakaian pakaian adat ke Pura, namun kita sebagai penganutnya harus bisa menempatkan dimana seharusnya modernisasi dan modifikasi itu ditempatkan, kalau tidak begitu bila semua berpakaian modifikasi sampai pemangku bermodifikasi bagaimana jadinya suasana di Pura. Tentu itu akan mengakibatkan sebuah penyimpangan dalam berpakaian kepura. Sebagai langkah konkrit, ada baiknya umat Hindu di Bali mulai mengarahkan pemahaman kearah yang lebih edukatif, langkah yang dapat ditempuh, diantaranya;
1.      Setiap umat Hindu yang melaksanakan persembahyangan di Pura, hendaknya berpenampilan yang sesuai dengan ajaran etika atau kesusilaan Hindu yang dikenal dengan istilah Asuci Laksana, diantaranya; bersih, rapi, sopan dan tidak berlebihan.
2.      Hendaknya umat Hindu dalam kesempatan melakukan aktifitas keagamaan lebih mementingkan kedalaman bhakti daripada sekedar mempertontonkan gaya berpenampilan.
3.      Pemahaman mengenai batasan ruang dan waktu dalam berbusana adat hendanya disosialisasikan secara intensif kepada umat Hindu di Bali agar fenomena berbusana adat yang berlebihan dapat lebih terkontrol.


KESIMPULAN

Akibat pengaruh dari modernisasi dan globalisasi banyaknya perubahan busana yang sedikit menyimpang dari segi tatanan struktur dan fungsinya, seperti: busana pakaian wanita yang terlalu transfaran, kamben yang terlalulu tinggi, memakai hiasan asesoris yang berlebihan. Sebenarnya struktur dan fungsi dalam pemakaian busana adat disesuaikan dengan konsepsi Tri Angga yang terdiri dari tahapan-tahapan yang saling mempengaruhi penggunaannya dan memiliki fungsinya masing-masing.
Jika adanya perubahan yang terjadi dalam suatu bagian akan membawa perubahan pada bagian yang lainnya. Masing-masing struktur bagian mempunyai fungsi serta makna yang terkandung didalamnya, yang dimana warnanya bisa disesuaikan dengan jenis upacara Yajna yang bersangkutan. Perubahan berbusana itu dapat berdampak bagi generasi umat Hindu kedepan seperti kurangnya pemahaman tattwa atau filosofi dan etika yang terkandung dalam setiap busana adat ke Pura. Dibutuhkan langkah konkrit untuk mengarahkan pemahaman umat terkait etika berbusana adat ke Pura

SARAN

1.      Diperlukan kajian-kajian yang lebih spesifik terhadap perubahan tatanan busana adat ke Pura  yang tertuang dalam berbagai literature.
2.       Lebih meningatkan sosialisasi tentang sistematika penggunaan busana adat ke Pura agar tidak terjadi penyimpangan pemahaman.
3.      Semoga paper ini dapat berguna sebagai bahan acuan dalam pembelajaran.

Sekian yang bisa saya paparkan mengenai realita perkembangan busana adat ke Pura dalam dinamika globalisasi, semoga bermanfaat dalam menyikapi trend busana yang semakin mengglobal ini yang tetunya sudah sangat mengalami penyimpangan di dalam penggunaan pakain adat ke Pura.

“Om Santih, Santih, Santih Om”

DAFTAR PUSTAKA

Adlin, Alfathri. 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Atmadja, Nengah Bawa. 2006. Pemanfaatan Modal Budaya dan Modal Tubuh Menjadi Menjadi Modal Ekonomi Berbentuk Hiburan Seks Melalui Rangsangan Mata (Kasus Joged Bumbung Ngebor di Buleleng, Bali. Singaraja: tp.
Dilistone, F.W. 2002. The Power of Syimbol. Yogyakarta. Penerbit Kanisius
Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
Mantra, Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.
Jones, Pip. 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial; Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Terjemahan Achmad Feedyani Saifudin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Pitana, I Gede dan Ni Putu Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Suprayoga, Iman dan Tabroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Synnott. 2003. Tubuh Sosial: Simbolisme diri dan Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra.

Widana, I Gusti Ketut. 2011. Menyoroti Etika Umat Hindu; Ke Pura Berpenampilan Selebritis. Denpasar: Balipost.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar