“Om Swastyastu”,
Seiring
dengan perkembangan jaman serta sejalan dengan arus modernisasi, membawa
eksistensi kultur (budaya) di Indonesia kedalam proses perubahan yang cukup
mempengaruhi. Perubahan terkait budaya dirasakan oleh hampir semua elemen
masyarakat diberbagai daerah. Kita akan dapat melihat perubahan tersebut
setelah mengkomparatifkan (membandingkan) keadaan pada beberapa waktu lalu
dengan keadaan sekarang. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek
kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem
kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi atau
keyakinan. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri, mengingat bahwa yang kekal di
dunia ini adalah perubahan. Namun tidak semua perubahan yang terjadi membawa
pada suatu keadaan yang positif. Seringkali perubahan yang terjadi terlihat
lepas kendali (lose of control), sehingga akan menjadi boomerang bagi
masyarakat ditu sendiri.
Kaitannya
dalam kontekas perubahan, manusia sebagai agen perubahan (agent of change) akan
menempatkan dirinya, baik selaku subjek, maupun sebagai objek dari perubahan.
Tentunya dengan selalu mengikuti dan kemudian menerima arus perubahan itu
dengan selalu bersikap responsive dan adaptif. Sebagai subjek, manusia adalah
pelaku utama dari perubahan itu, hendak bagaimana dan mau dibawa kemana
perubahan itu (Widana, 2011: 7). Perubahan yang paling signifikan terjadi
dewasa ini tentunya adalah perubahan dalam hal budaya. Jika diperhatikan, sangat
banyak budaya asli nusantara yang telah mengalami pergeseran dikarenakan arus
globalisasi, baik itu budaya berbahasa, bahkan juga pergeseran budaya dalam hal
berpakaian.
Globalisasi
budaya yang telah diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi sekarang terlihat
mulai mengalami modifikasi. Contoh nyatanya adalah dalam hal pembuatan sesajen
(banten), tidak jarang masyarakat bali mengganti bahan yang
dijadikan banten menjadi makanan-makanan ringan yang dijual
di supermarket. Tidak hanya banten, busana adat ke pura
juga mulai mengalami perubahan model. Bali yang sangat kental dengan nuansa
adat dan budaya dengan filosofi di dalamnya, selain itu bali juga terkenal
dengan julukan “Pulau Seribu Pura”. Pura merupakan tempat suci yang digunakan
sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu. Dalam melakukan
persembahyangan, umat hindu perlu menyiapkan sarana serta berpakaian yang
sopan, hal tersebut merupakan simbol untuk memuja beliau. Namun di era
globalisasi ini, cara berpakaian umat hindu juga terkena imbas. Remaja
cenderung memiliki hasrat untuk mengikuti model berpakaian orang barat yang
cenderung terbuka dan cenderung menyimpang dari norma yang berlaku. Seperti
halnya dengan fokus kajian penulis, dimana banyak ditemukan adanya perubahan
cara berpakaian adat bagi umat Hindu di Bali dalam naungan zaman globalisasi.
Fenomena tersebut bahkan dapat dijumpai hampir diseluruh Pura atau tempat suci
di Bali.
Berkaca
dari realita tersebut, menarik minat penulis untuk mengkaji lebih mendalam dan
spesifik terhadap perubahan yang telah terjadi dalam hal tata etika berbusana
adat ke Pura bagi umat Hindu. Seperti yang kita ketahui, terdapat berbagai
faktor serta jalur yang memungkinkan proses perubahan budaya dalam konteks
berbusana adat tersebut terjadi. Salah satu jalur tersebut yang juga merupakan
obyek analisis penulis adalah proses akulturasinya yang dikaji melalui
perspektif teori structural fungsional.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan suatu masalah, yaitu:
1)
Bagaimanakah realita perkembangan busana
adat ke Pura dalam era globalisasi ?
2)
Bagaimanakah relevansi teori struktural
fungsional dalam perkembangan busana adat ke Pura di era globalisasi ?
3)
Bagaimanakah kajian teori struktural
fungsional kaitannya dengan perkembangan busana adat ke Pura di era globalisasi
?
4)
Apa sajakah langkah yang dapat ditempuh
dalam menyikapi realita perkembangan busana adat ke Pura dalam era globalisasi
?
Tujuan
Penulisan
Dari keseluruhan isi Paper ini
bertujuan agar para pembaca dapat mengetahui akan realita modernisasi
yang terjadi khususnya dalah hal perkembangan busana adat ke Pura dalam era
globalisasi serta menemukan langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam menyikapi
realita dari perkembangan busana adat ke Pura dalam era globalisasi.
Metode
Penulisan
Dalam penyusunan Paper ini,
penulis menggunakan metode kepustakaan,
yaitu suatu metode yang menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan budaya,
khususnya mengenai eksistensi budaya berbusana adat. Metode
analisis yang penulis
gunakan adalah Deskriptif, yaitu data yang telah terkumpul, kemudian disusun
secara akurat dan menyeluruh untuk mendapatkan suatu pembahasan yang dapat
disusun dan disimpulkan serta dikembangkan dan dirangkai menjadi sebuah Paper
yang bagus.
Realita
Perkembangan Busana Adat Ke Pura Dalam Era Globalisasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa, kekalnya
perubahan akan senantiasa terjadi dan tidak akan ada habisnya. Dalam konteks
positif, tentunya seluruh insan berharap keseluruhan perubahan yang terjadi
akan memberikan suatu dorongan yang positif pula bagi perkembangan pembangunan.
Namun, dalam realitanya tidak sepenuhnya seperti apa yang diharapkan. Tidak
sedikit realita perubahan membawa pada efek yang negative dan bahkan mampu
menenggelamkan budaya-budaya yang sedari awal telah paten dijalankan oleh
masyarakat. Budaya yang paling jelas terlihat tengah berada pada titik kritis
tentunya terkait budaya etika kemasyarakatan. Berbicara etika tentu lingkupnya
sangat luas, namunpenulis batasi dalam ranah etika berpakaian, khususnya
terkait dengan etika berbusana adat. Tentunya tepat perkiraan serta analisis
dari para ilmuan yang menyatakan bahwa eksistensi budaya saat ini tengah berada
pada tekanan globalisasi.
Globalisasi merupakan gejala yang tak
dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas.
Globalisasi telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam
kehidupan masyarakat Bali, khususnya umat Hindu yaitu terjadinya benturan
kultur. Sekarang ini globalisasi bukan merupakan hal yang baru
dibicarakan. Tekanan dari globalisasi yang menjadi tantangan terbesar saat ini
harus dicarikan solusi. Gejala Globalisasi mulai menonjol pada abad ke-20 dan
mengakibatkan banyak hilangnya keaslian watak dan kemandirian budaya bangsa.
Globalisasi disebabkan oleh kemajuan Iptek, terutama bidang teknologi
komunikasi yang membawa dunia saling berdekatan. Realita ini sangat penting
untuk disadari, terutama karena zaman yang kita hadapi membawa
kemajuan-kemajuan besar, sekaligus perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan
masyarakat Bali (Mantra (1996: 1-2).
Sebagai salah satu dampak globalisasi
dalam masyarakat Bali, khususnya umat Hindu adalah terjadinya benturan cultural. Malinowski dan Brown dalam
riset lapangannya berhadapan dengan fenomena kontak, benturan atau konflik
cultural. Benturan cultural tersebut sangat menonjol ketika peradaban barat
mulai masuk dan terus merasuk ke dalam kultur pribumi, terutama pada saat
mereka mengembangkan dan menanamkan pengaruh kolonialismenya di kawasan daerah
jajahannya (dalam Sztompka, 2004: 108). Masyarakat Hindu (Bali) sebagai bagian
dari masyarakat global juga tidak luput dari pengaruh budaya barat modern.
Menurut Atmadja (2006: 75), dengan mencermati kondisi masyarakat Bali dewasa
ini, globalisasi memiliki kesan yang sama kuat dengan westernisasi. Penggunaan
produk-produk luar dalam pelaksanaan upacara yajna sebagai salah satu bungki konkritnya. Hal senada juga
ditegaskan Hoed (2008: 101) yang menyatakan bahwa globalisasi yang semula
merupakan akibat dari perkembangan ekonomi dunia, ternyata dalam
perkembangannya juga telah menjadi gejala budaya, yakni terbentuk dan
tersebarnya “kebudayaan dunia” diberbagai negara. Artinya, suatu kebudayaan
baru tengah merebak dan melanda seluruh dunia.
Globalisasi dalam konteks dampak pada
dasarnya melingkupi seluruh aspek, bahkan dalam realitanya juga merasuki serta
mempengaruhi aspek budaya. Jika dipahami secara mendalam, antara manusia dan kebudayaan pada
hakekatnya memiliki hubungan yang sangat erat, dan hampir semua tindakan dari
seorang manusia itu adalah merupakan kebudayaan. Termasuk dalam hal ini dalam
budaya berbusana atau berpakaian. Dilistone (2002: 80),
menambahkan bahwa pengertian busana (pakaian) dalam arti luas adalah suatu
benda kebudayaan yang sangat penting untuk hampir semua suku bangsa di
dunia. Pakaian adalah menyimbolkan manusia, sebuah topeng dan suatu
petunjuk tentang jabatan, tingkat, status, tetapi bukan identifikasi
dengan suatu bagian dari pengada hakiki.
Tekanan globalisasi dewasa ini memang
membawa dampak terjadinya pergeseran etika dalam berbusana adat ke Pura oleh
generasi muda Hindu di Bali. Banyak generasi muda yang kurang memahami dan juga
ada yang tidak mau memahami tentang etika dalam berpakaian ke Pura. Banyak dari
meraka terutama kaum perempuan yang memakai model baju kebaya (baju atasan yang
sering dikenakan para wanita dalam persembahyangan ke Pura) yang kurang sesuai.
Pada dasarnya berbusana tentu akan lebih baik jika disesuaikan dengan aktifitas
/ kegiatan yang akan dilakukan. Wanita sering kita jumpai mengenakan kebaya
dengan bahan transparan dengan kain bawahan (kamen) bagian depan hanya beberapa cm dibawah lutut untuk melakukan
persembahyangan. Kita seharusnya mengetahui bahwa pikiran setiap manusia tentu
tidak sama, ada yang berpikir positif bahwa itulah trend mode
masa kini. Tapi ada yang berpikiran negatif tentu tidak sedikit, inilah
permasalahanya bagi orang yang mempunyai pikiran negatif, paling tidak busana
terbuka akan mempengaruhi kesucian pikiran umat lain yang melihatnya sehingga
mempengaruhi konsentrasi persembahyangan.
Hal senada juga disampaikan oleh Widana
(2011: 13) yang menyatakan bahwa di zaman modern ini, perihal perubahan dalam
hal etika berbusana sungguh merupakan fenomena yang senantiasa tumbuh dan
berkembang, fenomena yang menunjukkan bagaimana umat Hindu tatkala melaksanakan
kegiatan persembahyangan, khususnya di Pura mampu mensinergikan tampilannya
dengan trend zaman, gaya modis seperti kalangan selebritis dalam aktifitas
religius yang seharusnya mengedepankan tuntunan etis (normative) yang dijiwai oleh ajaran suci Hindu.
Synnott (2003: 11-14), menekankan pula bahwa,
“tubuh kita dengan bagian-bagiannya dimuati oleh simbolisme kultural, publik
dan privat, positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual, moral dan
seringkali kontroversial”. Pakaian adalah salah satu ciri khas seseorang dalam
berpenampilan. Baik itu dalam bekerja, jalan-jalan, belanja maupun dalam
bersembahyang. Seperti yang banyak mengalami perubahan pada etika dalam
menggunakan busana adat ke pura. Sejak dahulu hingga sekarang busana adat ke
pura selalu berubah sesuai perkembangan jaman. Seharusnya dalam menggunakan
busana adat kepura terutama untuk persembahyangan harus sesuai dengan tata cara
yang berlaku. Namun dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam
menggunakan busana adat sudah tidak sesuai dengan norma atau aturan.
Terkait konteks fenomena berpenampilan
(berbusana), fenomenologi Husserl (dalam Widana, 2011: 33) memandangnya sebagai
sesuatu (objek) sebagaimana kita alami dan menghadirkan diri dalam kesadaran
kita yang dapat dideskripsikan dari apa yang tertangkap oleh intuisi dan muncul
melalui analisis. Bahwa, umat Hindu melalui penampilan “selebritisnya” telah
menunjukkan adanya percampuran kultur barat (modern) dan lokal (tradisi) yang
tampak sekali bentuk-bentuknya ketika dalam kesempatan mengikuti atau
melaksanakan upacara persembahyangan. Performance
umat Hindu cenderung bergaya fashionable
(sadar mode).
Berdasarkan analisa beberapa sumber dan
fakta di lapangan, dapat diketahui bahwa perkembangan tatanan busana adat tanpa
disadari telah keluar jauh dari batasan norma-norma yang ada, misalnya
eksistensi pakaian yang terbuka (tidak sopan) atau terlalu vulgar. Hal tersebut disinyalir sebagai akibat proses akulturasi
yang lepas control. Melihat realita perubahanan tatanan budaya berbusana adat
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, memberikan kita sebuah pemahaman
bahwa tugas utama yang harus dibenahi adalah bagaimana mempertahankan,
melestarikan, menjaga, serta mewarisi etika budaya lokal dengan sebaik-baiknya.
Khususnya etika berbusana adat ke pura.
Relevansi Teori Struktural Fungsional Dalam Perkembangan
Busana Adat Ke Pura Di Era Globalisasi
Struktural fungsional pada
dasarnya mengkaji tentang hubungan antara kepribadian
individual manusia, sistim sosial dan sistim budaya. Tujuannya agar sistem
sosial dapat bertahan dan fungsionalnya dapat berjalan sebagaimana mesetinya (Suprayoga dan Tabroni, 2001:
96). Talcott Parsons (dalam Pitana dan
Gayatri, 2005: 19) menyatakan bahwa, terdapat beberapa asumsi pokok dari
pandangan Struktural Fungsional, diantaranya;
1.
Masyarakat sebagai sistem sosial, terdiri dari bagian-bagian (subsistem)
yang interdependent. Masing-masing bagian mempunyai fungsi tertentu yang
berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem secara keseluruhan .
2.
Setiap elemen atau sub-sistem harus dikaji dalam hubungan dengan
fungsi-fungsi dan peranannya terhadap sistem. Serta dilihat apakah subsistem
tersebut berfungsi atau tidak, dilihat dari akibat yang ditimbulkan oleh
perilaku suatu sistem. Jadi yang dilihat adalah fungsi real, bukan fungsi yang
seharusnya .
3.
Kalau suatu sistem dapat mempertahankan batas-batasnya, maka sistem
tersebut akan stabil .
4.
Berfungsinya masing-masing bagian (sub-sistem) atau suatu sistem, akan
menyebabkan sistem ada dalam keadaan equilibrium.
Masyarakat yang equilibrium adalah masyarakat yang stabil, normal
karena semua faktor yang saling bertentangan telah melakukan keseimbangan.
Globalisasi budaya yang telah
diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi sekarang memang mulai
mengalami modifikasi. Contoh nyatanya adalah dalam hal busana adat ke pura yang
mulai mengalami perubahan model. Bali yang sangat kental dengan nuansa adat dan
budaya dengan filosofi di dalamnya, selain itu Bali juga terkenal dengan
julukan “Pulau Seribu Pura”. Pura merupakan tempat suci yang digunakan sebagai
tempat persembahyangan bagi umat Hindu. Dalam melakukan persembahyangan, umat
hindu perlu menyiapkan sarana serta berpakaian yang sopan, hal tersebut
merupakan simbol untuk memuja Beliau. Namun di era globalisasi ini, cara
berpakaian umat Hindu juga terkena imbas. Remaja cenderung memiliki hasrat
untuk mengikuti model berpakaian orang barat yang cenderung terbuka dan
cenderung menyimpang dari norma yang berlaku.
Realita perkembangan busana ini
bertentangan dengan pandangan teori modern yang mengarah pada perkembangan dan
perbaikan, perkembangan yang terjadi justru keluar dari batasan norma. Terkait
dengan fenomena tersebut, Triguna (2000: 35) menyatakan bahwa realita munculnya
penampilan umat dengan gaya berbusana seperti halnya performance selebritis merupakan fakta dari
pengaruh trend-mode.
Terkandung maksud untuk mengkomunikasikan kemodernan gaya hidup dalam beragama.
Sehingga pada kesempatan melakukan atau mengikuti upacara persembahyangan yang
sebenarnya dilandasi oleh religuisitas (etika keagamaan), motif-motif untuk
menampilkan diri secara glamour (indah dan mewah) tidak terhindarkan
lagi. Media tubuh umat dalam balutan fashionable yang sebenarnya lebih tepat
dikenakan pada kesempatan non-religion (diluar kegiatan agama) akhirnya
ditampilkan juga diruang-ruang dan waktu religi, seperti halnya di Pura.
Selama ini, banyak cara berpakaian busana adat ke pura yang
tidak sesuai dengan pakem. Penyimpangan yang dilakukan terhadap berbusana ke
pura ini tentunya dapat berpengaruh negatif. Dari analisis struktural terkait
eksistensi gaya berbusana adat ke Pura saat ini saja telah mengalami perubahan.
Adapun penyebab dari perubahan trend busana adat
kepura daru segi struktur bagi umat Hindu diantaranya :
1.
Banyaknya selebritis
dan para model memakai bahan-bahan budaya bali yang dipakai sampel model atau
desain terbaru untuk dimodifikasi.
2.
Dari adanya modifikasi
yang dipakai model atau selebritis menjadi banyak yang ditiru oleh umat Hindu
(Bali) untuk busana ke Pura agar terlihat lebih modern.
3.
Adanya kombinasi atau
perpaduan model busana barat dan busana lokal yang menjadi trend terbaru dalam
berbusana.
4.
Berkembangnya
pariwisata Bali, terutama orang-orang suka dengan budaya dan busana Bali
sehingga banyak menjadi barang dagangan untuk para turis-turis yang datang ke
Bali.
5.
Berkembangnya trend (Fashion) busana-busana
modern dari luar yang dapat mempengaruhi busana adat ke Pura sehingga dilihat
menjadi lebih modis.
6.
Banyaknya umat Hindu
(para ABG) yang mengikuti perkembangan fashion atau trend terbaru dari berbagai
gaya busana. Seperti; kebaya, kamen dan pakaian lainnya.
Faktor penyebab tersebut di atas adalah bukti
ketidakstabilan sebuah sistem, bukti pula bahwa tatanan struktural
fungsionalnya telah mengalami perubahan yang cukup ekstrim. Permasalahannya
sekarang, dibalik fenomena perubahan penampilan umat Hindu dalam konteks
struktur dan fungsinya akan membawa implikasi berupa terjadinya pergeseran
orientasi nilai yang semestinya menekankan pada substansi dan esensi, namun
yang terjadi dan berkembang justru lebih mengutamakan tampilan materi. Fenomena
inilah yang oleh Sugiharto (dalam Adlin, 2007: 5) disebut sebagai situasi
modern, dimana paradigm utamanya adalah tubuh (materi) dan pikiran. Pengutamaan
tubuh dan materi menghasilkan budaya konsumerisme, sedangkan pengutamaan
pikiran melahirkan Iptek. Dalam situasi semacam itu “ruh” tersisih. Yang
dikedepankan adalah bagaimana bisa “memiliki” lebih banyak (to have),
bukan bagaimana saya “menjadi” orang yang lebih berkualitas dan lebih bermakna
(to be). Ruh yang lebih berurusan dengan “menjadi”itu tidak mendapat tempat.
Kalaupun mendapat tempat, maka ritual-ritual religius kekinian sudah bercampur
baur dengan perayaan konsumerisme.
Adapun dampak yang terjadi bagi umat hindu dari
adanya perubahan seni berbusana diera globalisasi antara lain :
1.
Kurangnya kesadaran
terhadap tatwa atau filosofi yang terkandung dari simbol-simbol busana adat
kepura umat Hindu.
2.
Adanya penyimpangan
etika dalam berbusana, seperti banyak busana contohnya: kebaya yang tarnsparan
dan pemakaian kamen terlalu tinggi (diatas lutut).
3.
Adanya pikiran-pikiran
kotor dipura yang diakibatkan pakaian yang kurang sopan terutama bagi laki-laki
yang tidak bisa mengontrol diri melihat busana yang tranfaran dan terlalu
vulgar.
4.
Mengganggu kenyamanan
saat sembahyang, dari bahan yang terlalu bervariasi dan gaya yang sedikit ketat.
5.
Adanya persaingan
busana dikalangan ibu-ibu yang lagi sembahyang akibat berkembangnya terus
fashion atau model-model terbaru, sehingga dapat menimbulkan kesenjangan dan
merasa jengah dalam berbusana.
Berdasarkan realita penyebab dan dampak yang ditimbulkan
dari realita perkembangan busana adat ke Pura yang telah mengalami pergeseran
dari konteks struktur dan fungsinya, tentu sangat dibutuhkan langkah-langkah
konkrit (nyata) yang dapat diambil guna mengatasi, atau paling tidak
mengendalikan perubahan dramatis yang telah terjadi.
Kajian Teori Struktural Fungsional Kaitannya Dengan
Perkembangan Busana Adat Ke Pura Di Era Globalisasi
Berdasarkan kajian struktur dan fungsi, eksistensi
perkembangan busana adat ke Pura telah mengalami pergeseran yang sangat
signifikan dan lepas dari tatanan koridor aslinya. Dari segi tatanan berpakaian
telah jauh berubah, seperti adanya modifikasi dalam penggunaan kamen yang saat ini justru lebih terbuka dan
menonjolkan sisi feminim seorang wanita sehingga terkesan vulgar, dan pada kaum
pria justru terkesan urakan. Jadi antara struktur (tatanan busana) dan
fungsinya (religiusitas keagamaan) telah jauh menyimpang dan mengalami
pembaharuan yang cukup ekstrim. Mungkin ini yang oleh Triguna (2000: 29) dalam
pandangan struktural fungsionalnya, digambarkan sebagai suatu perubahan yang
saling mempengaruhi. Perubahan yang terjadi dalam suatu bagian akan membawa perubahan
pada bagian yang lainnya. Dasar berpikiran setiap struktur dalam sistem sosial
fungsional, maka struktur dalam sistem sosial itu akan hilang dengan
sendirinya.
Begitu juga dalam berbusana adat adanya tahapan-tahapan
yang saling mempengaruhi penggunaannya dan memiliki fungsinya masing-masing.
Tubuh manusia dibagi menjadi tiga bagian yakni dari leher ke kepala, dari atas
pusar sampai leher dan dari pusar sampai bawah yang ketiganya saling
mempengaruhi satu sama lainnya begitu juga penggunaan masing-masing busananya.
Berkaitan dengan busana adat ke Pura sebenarnya, tidak dijelaskan dalam lontar
ataupun sastra-sastra yang menunjukkan tentang busana adat Bali. yang pada
dasarnya busana adat ke Pura dalam mengikuti upacara persembahyangan itu
disesuaikan dengan konsepsi Tri Angga, yang terdiri dari:
1.
Busana/pakaian pada Uttama Angga (kepala)
Busana
pada Uttama Angga yaitu
busana yang dikenakan dari leher ke kepala.
Busana Putra
Udeng (Ikat
Kepala) adalah salah satu yang
khas dari pakaian adat pria Bali, udeng yang digunakan untuk persembahyangan menggunakan
simpul hidup di depan, disela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau
mata ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap
keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa.
Busana Putri
Bagi wanita
Bali, penataan rambut beserta hiasannya memiliki aturan khusus. Sedikitnya ada
3 jenis gaya tata rambut atau sanggul yang dapat digunakan mereka, yaitu pusung gonjer, pusung tagel, dan pusung kekupu. Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut
dilipat sebagaian dan sebagian lagi digerai,pusung gonjer di gunakan untuk
putri yang masih lajang/ belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih
bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung
gonjer juga sebagai symbol
keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri
Murti. Pusung Tagel adalah untuk putrid yang sudah
menikah. Pusung podgala/pusung kekupu yaitu cempaka putih, cemapak kuning,
sandat sebagai lambing Tri
Murti. Biasanya dipakai oleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai
yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang Dewa Tri Murti.
2.
Busana/pakaian Madyama Angga (badan)
Busana pada Madyama Angga yaitu busana yang dikenakan pada badan
tepatnya dari atas pusar sampai leher.
Busana Putra
Baju (kwaca),
baju yang digunakan adalah baju bersih, rapi dan sopan. Baju pada saat busana
adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat kepura harus
menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah
diri. Jadi pada bagian baju sebenarnya tida ada patokan yang pasti yang
biasanya ke Pura menggunakan baju putih yang melambangkan kesucian.
Busana Putri
Kebaya atau atasan yang digunakan pada pakaian perempuan
adat Bali adalah kebaya dengan motif sederhana dan warna cerah. Pemilihan
kebaya dinilai dapat menonjolkan sisi kecantikan dan keanggunan wanita Bali.
Adapun dalam persembahyangan, kebaya yang digunakan haruslah sopan dari sisi
desain, rapi dan bersih.
Selendang/senteng, putri menggunakan selendang/senteng diikat menggunakan
simpul hidup dikiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai
selendang diluar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra
kalau melenceng dari ajaran Dharma dan siap mendidik putra putrinya kelak agar
patuh terhadap orang tua.
3.
Busana/pakaian Kanistama Angga (dari pinggang ke bawah)
Busana pada Kanistama Angga adalah busana yang dikenakan pada
bagian bawah yaitu dari pusar sampai bawah.
Busana Putra
Kain/kamen, dengan lipatan untuk putra kamen/ wastra melingkar dari
kiri kekanan karena merupakan pemegang Dharma. Tinggi kamen putra
kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab
Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang
dipijak adalah Dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang
lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang
kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga
merupakan simbol kejantanan. Untuk persembahyangan, tidak diperkenankan untuk
menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah
kejantanan itu boleh ditunjukkan.
Saput (Kampuh) setelah kamen dipakai, ada 1 lagi kain penutup bagian
bawah yang harus dikenakan. Kain tersebut bernama saput atau kampuh. Saput diikatkan di pinggang secara
melingkar berlawanan arah jarum jam. Saput merupakain kain berdesain klasik
yang lebih sering dipakai saat ibadah atau acara keagamaan. Tujuan
penggunaannya adalah untuk menutupi lekuk tubuh dan aurat.
Umpal (Selendang Pengikat), untuk
menguatkan kamen dan saput, digunakan selendang kecil berwarna kuning yang
bernama umpal. Ikatan yang
digunakan adalah ikatan dengan simpul hidup yang diletakan di sebelah kanan.
Cara mengikat ini mengandung arti bahwa pria bali harus dapat mengendalikan
semua hal buruk dari segala aktivitasnya.
Busana Putri
Kamen/kain, sama seperti busana
adat putra putrid juga memakai kamen tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri sesuai
dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki
tidak melenceng dari ajaran Dharma.
Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan
karena pekerjaan putri sebagai sakti sehingga langkahnya lebih pendek. Setelah
menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga
rahim, untuk mengendalikan emosi.
Bulang Pasang, untuk menguatkan ikatan kamen, digunakan sebuah selendang
kuning bernama bulang pasang yang diikatkan di pinggang. Pemakaian selendang
bulang pasang dalam pakaian adat Bali wanita memiliki makna filosofis agar wanita
Bali dapat menjaga rahimnya dan mengendalikan tingkah lakunya dari segala
keburukan.
Dari uraian tahapan-tahapan konsep busana adat diatas, yang
terdiri dari tiga bagian yang saling berhubungan serta berurutan penggunaannya
yang dimulai dari bawah. Kita rapikan dan kendalikan dahulu dari bawah lalu
keatas. Simanjuntak (1985 : 70), menyatakan bahwa dalam teori struktural
fungsional badan manusia dianggap atau dilihat sebagai suatu sistem yang
terdiri dari organ-organ yang saling berhubungan, seperti jantung, paru-paru,
ginjal dan otak. Setiap organ mempunyai satu atau beberapa fungsi tertentu,
yang sangat penting bagi organ lainnya bahkan seluruh organisme tubuh. Begitu
juga ketiga bagian konsep Tri
Angga dalam penggunaan busana
adat tersebut sudah berstruktur dengan penggunaannya dan memiliki fungsinya
masing-masing. Jika adanya perubahan yang terjadi dalam suatu bagian akan
membawa perubahan pada bagian yang lainnya. Masing-masing struktur bagian
mempunyai fungsi serta makna yang terkandung didalamnya, yang dimana warnanya
bisa disesuaikan dengan jenis upacara Yajna yang bersangkutan.
Langkah Yang Dapat Ditempuh Dalam Menyikapi Realita Perkembangan Busana Adat Ke Pura Dalam Era Globalisasi
Langkah Yang Dapat Ditempuh Dalam Menyikapi Realita Perkembangan Busana Adat Ke Pura Dalam Era Globalisasi
Berbicara tentang busana sesungguhnya berbicara tentang
sesuatu yang sangat erat dengan diri individu. Tidak heran jika tokoh Thomas
Carlyle (dalam Barnard, 2006: vi) menyatakan bahwa busana adalah “perlambang
jiwa” (emblems of the soul). Busana bisa menunjukkan siapa pemakainya.
Dalam kalimatnya Eco, “I Speak trough my cloth” atau Aku berbicara lewat
pakaianku. Dengan busana kita menunjukkan siapa diri kita. Berdasarkan
pernyataan tersebut, pembenahan harus dimulai dari sisi internal (kejiwaan atau
kepribadian) terlebih dahulu.
Jika kita telusuri tattwa dan etika dalam
berbusana ke Pura. Orang berbusana adat yang baik untuk ke pura yakni berbusana
yang enak dipandang. Tidak kebablasan seperti busana yang pendek-pendek, kebaya
yang tipis dan transparan, penggunaan kamben yang di atas lutut. Walaupun semua
itu adalah trend atau mode kita harus juga mengetahui
apa makna dari pakaian adat ke Pura. Jadi berpakaian ke Pura diharapkan pakaian
yang bisa menumbuhkan rasa nyaman baik yang memakai maupun yang melihat,
menumbuhkan rasa kesucian, dan mengandung kesederhanaan, warnanyapun akan lebih
baik yang berwarna tidak ngejreng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan
kesucian pikiran.
Sebagai generasi muda memang sudah harus sepatutnya
mempelajari dan mampu memahami dan juga melakasakan etika dalam berpakaian
untuk persembahyangan ke Pura. Pikiranlah yang utama dalam mengantarkan bhakti kita kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Dan apabila hanya karena
mengikuti trend dan mode pakaian yang dikenakan bisa
menggagu konsentrasi tentu saja itu akan membuat terganggunya situasi
persembahyangan yang khusyuk.
Bukan berarti agama Hindu menolak
modernisasi atau menolak modifikasi dalam pemakaian pakaian adat ke Pura, namun
kita sebagai penganutnya harus bisa menempatkan dimana seharusnya modernisasi
dan modifikasi itu ditempatkan, kalau tidak begitu bila semua berpakaian
modifikasi sampai pemangku bermodifikasi bagaimana jadinya suasana di Pura.
Tentu itu akan mengakibatkan sebuah penyimpangan dalam berpakaian kepura.
Sebagai langkah konkrit, ada baiknya umat Hindu di Bali mulai mengarahkan
pemahaman kearah yang lebih edukatif, langkah yang dapat ditempuh, diantaranya;
1.
Setiap umat Hindu yang
melaksanakan persembahyangan di Pura, hendaknya berpenampilan yang sesuai
dengan ajaran etika atau kesusilaan Hindu yang dikenal dengan istilah Asuci Laksana, diantaranya;
bersih, rapi, sopan dan tidak berlebihan.
2.
Hendaknya umat Hindu
dalam kesempatan melakukan aktifitas keagamaan lebih mementingkan kedalaman bhakti daripada sekedar mempertontonkan gaya
berpenampilan.
3.
Pemahaman mengenai
batasan ruang dan waktu dalam berbusana adat hendanya disosialisasikan secara
intensif kepada umat Hindu di Bali agar fenomena berbusana adat yang berlebihan
dapat lebih terkontrol.
KESIMPULAN
Akibat pengaruh dari modernisasi dan globalisasi banyaknya
perubahan busana yang sedikit menyimpang dari segi tatanan struktur dan
fungsinya, seperti: busana pakaian wanita yang terlalu transfaran, kamben yang
terlalulu tinggi, memakai hiasan asesoris yang berlebihan. Sebenarnya struktur
dan fungsi dalam pemakaian busana adat disesuaikan dengan konsepsi Tri Angga yang terdiri dari tahapan-tahapan yang
saling mempengaruhi penggunaannya dan memiliki fungsinya masing-masing.
Jika adanya perubahan yang terjadi dalam suatu bagian akan
membawa perubahan pada bagian yang lainnya. Masing-masing struktur bagian
mempunyai fungsi serta makna yang terkandung didalamnya, yang dimana warnanya
bisa disesuaikan dengan jenis upacara Yajna yang bersangkutan. Perubahan
berbusana itu dapat berdampak bagi generasi umat Hindu kedepan seperti
kurangnya pemahaman tattwa atau filosofi dan etika yang terkandung dalam setiap
busana adat ke Pura. Dibutuhkan langkah konkrit untuk mengarahkan pemahaman umat
terkait etika berbusana adat ke Pura
SARAN
1.
Diperlukan
kajian-kajian yang lebih spesifik terhadap perubahan tatanan busana adat ke
Pura yang tertuang
dalam berbagai literature.
2.
Lebih
meningatkan sosialisasi tentang sistematika penggunaan busana adat ke Pura agar
tidak terjadi penyimpangan pemahaman.
3.
Semoga paper ini dapat
berguna sebagai bahan acuan dalam pembelajaran.
Sekian yang bisa saya paparkan mengenai realita perkembangan
busana adat ke Pura dalam dinamika globalisasi, semoga bermanfaat dalam
menyikapi trend busana yang semakin mengglobal ini yang tetunya sudah sangat
mengalami penyimpangan di dalam penggunaan pakain adat ke Pura.
“Om Santih, Santih, Santih Om”
DAFTAR PUSTAKA
Adlin, Alfathri. 2006. Resistensi
Gaya Hidup: Teori dan Realitas. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Atmadja, Nengah Bawa. 2006. Pemanfaatan Modal Budaya dan Modal
Tubuh Menjadi Menjadi Modal Ekonomi Berbentuk Hiburan Seks Melalui Rangsangan
Mata (Kasus Joged Bumbung Ngebor di Buleleng, Bali. Singaraja: tp.
Dilistone, F.W. 2002. The Power of Syimbol. Yogyakarta.
Penerbit Kanisius
Hoed, Benny H. 2008. Semiotik
dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
Mantra, Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar : Yayasan Dharma Sastra.
Jones, Pip. 2010. Pengantar
Teori-Teori Sosial; Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme.
Terjemahan Achmad Feedyani Saifudin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Pitana, I Gede dan Ni Putu
Gayatri. 2005. Sosiologi
Pariwisata. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Suprayoga, Iman dan Tabroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Synnott. 2003. Tubuh Sosial: Simbolisme diri
dan Masyarakat. Yogyakarta:
Jalasutra.
Widana, I Gusti Ketut. 2011. Menyoroti Etika Umat Hindu; Ke Pura
Berpenampilan Selebritis. Denpasar: Balipost.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar